Teladan dari Sidogiri

Belakangan ini soal bantuan terhadap pesantren menjadi sorotan. Hal ini mencuat sehubungan dengan berdirinya Yayasan Peduli Pesantren (YPP) yang didirikan oleh Hary Tanoesoedibdjeo (HT) pendiri Partai Perindo. Meski YPP didirikan dengan tujuan untuk membantu pesantren dan pengurusnya terdiri dari tokoh-tokoh Islam nasional seperti Prof. Mahfudz MD dan KH. Said Aqil Siraj, namun kalangan pesantren sendiri malah menolak apabila pesantren dibantu oleh YPP.
Di antara yang menolak adalah Aliansi Ulama Madura (AUMA). “AUMA menolak tegas dan keras bantuan-bantuan apapun dari YPP bentukan HT yang belum memeluk Islam. Sebab, pesantren merupakan ladang perjuangan agama dan Nabi Muhammad SAW menolak bantuan non-Muslim dalam perjuangan agama,” demikian pernyataan AUMA yang disampaikan oleh Ketua AUMA KH. Ali Karrar Shinhaji yang tersebar luas di media sosial.
Meski demikian, dalam realitanya masih banyak pesantren yang membutuhkan bantuan baik dari Pemerintah maupun donatur lainnya yang tidak mengikat. Terutama bagi pesantren-pesantren yang masih kecil, tidak memiliki bidang usaha dan sumber pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan pesantren. Jelas, pesantren seperti itu membutuhkan sokongan finansial dari para dermawan.
Namun, bagi pesantren seperti Sidogiri, memilih menghindar dari bantuan seperti bantuan non-Muslim terhadap pesantren ala YPP maupun dari Pemerintah. Sidogiri sejak awal berdirinya sampai sekarang, berupaya mandiri agar terhindar dari hal-hal yang berbau haram dan syubhat. Yang demikian itu karena Sidogiri berusaha meneladani para salafus sholeh yang sangat hati-hati dalam menerima bantuan.
Artinya, meski masih belum mandiri, Sidogiri memegang teguh prinsip menghindarkan dari haram dan syubhat, termasuk menghindar dari bantuan dari non-Muslim dan Pemerintah. Prinsip utamanya adalah menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau haram dan syubhat. Lalu, untuk menguatkan prinsip-prinsip itu, tumbuh upaya-upaya untuk mandiri.
Sidogiri berusaha menunjukkan kepribadian pesantren yang wara’. Hal yang yang melatarbelangi prinsip itu, dan tetap dipegang teguh sampai saat ini, bila menerima bantuan dari non-Muslim dan Pemerintah, dikhawatirkan ilmu yang dipelajari para santri tidak akan barokah.
Oleh karena itu, soal menyikapi sumbangan terutama darii non-Muslim, pesantren-pesantren yang ada di Indonesia perlu meneladani Sidogiri. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, Sidogiri sejak tahun 1963 mendirikan Kopontren Sidogiri. Saat ini Kopontren Sidogiri telah berkembang dengan pesat dan tercatat dalam 100 Koperasi Besar Indonesia urutan ke-96.
Kopontren Sidogiri dijadikan sebagai wadah kemandirian bagi pesantren sekaligus tempat belajar wirausaha bagi para santri. Selain itu, para alumni Sidogiri berikhtiar untuk berkhidmat kepada pesantren dan umat dengan mendirikan Koperasi BMT Maslahah (berdiri 1997) dan Koperasi BMT UGT Sidogiri Indonesia (berdiri 2000).
Dana sosial kedua Koperasi Besar Indonesia urutan ke-3 dan ke-14 itu, diberikan kepada Pondok Pesantren Sidogiri (PPS). Menurut Ketua Pengurus Koperasi BMT UGT Sidogiri Indonesia H. Mahmud Ali Zain, pada tahun ini Koperasi BMT UGT Sidogiri Indonesia menyalurkan dana sosial sebesar Rp 3,5 miliar kepada PPS.
“Alhamdulillah, selama 14 tahun sejak berdirinya sampai sekarang Koperasi BMT UGT Sidogiri Indonesia setiap tahunnya bisa membantu dana sosial ke PPS. Tahun ini dana sosial yang kami berikan Rp 3.5 miliar. Selain itu, dana sosialnya juga diberikan kepada Ikatan Alumni Santri Sidogiri Pusat sebesar Rp 1,4 miliar,” tulis H. Mahmud Ali Zain dalam WA Alumni Sidogiri menanggapi kontroversi YPP yang akan memberikan bantuan ke pesantren di Indonesia (Kamis, 8/12/2016).
Mokh. Syaiful Bakhri






