MELESAT BERKAT PEDULI UMAT (1)

Berawal dari sebuah koperasi pondok pesantren yang awalnya bertujuan melepaskan masyarakat sekitar dari jeratan riba, Koperasi Baitul Maal wa Tamwil UGT Sidogiri melesat menjadi entitas bisnis raksasa dengan 10 badan usaha turunannya. Asetnya kini mencapai Rp 1,5 triliun dan omsetnya tembus Rp 16 triliun lebih
Koperasi Baitul Maal wa Tamwil Sidogiri - biasa disingkat BMT Sidogiri - awalnya berasal dari koperasi pondok pesantren yang bertujuan melayani kebutuhan para santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pada 1998, koperasi ini melihat kesempatan untuk menyebarkan kebaikannya lebih luas lagi. H. Mahmud Ali Zain, Ketua Pengurus BMT Sidogiri masih mengingat dengan jelas, pada tahun itu, krisis merajalela dan masyarakat di sekitar pesantren banyak yang meminjam uang dari rentenir. "Saat perekonomian bangsa hancur, mereka pun tidak mampu mengembalikan pinjaman yang berbunga besar," tutur Mahmud kepada SWA di kantornya di Jalan Sidogiri Barat, Kraton Pasuruan, Jawa Timur.
Sebenarnya, jauh sebelum krisis merebak, K. H. Nawawi Thoyyib (almarhum) yang kala itu menjabat sebagai Ketua Pengurus Ponpes Sidogiri sudah mengingatkan pengurus BMT Sidogiri untuk membantu masyarakat sekitar agar terbebas dari sistem riba. Lebih utamanya, kepada masyarakat yang menjual makanan kepada para santri. Tujuannya sederhana, melepaskan mereka dari jeratan bunga tinggi yang merugikan mereka kelak.
Memang, bunga yang dibebankan oleh rentenir sangat mencekik. Ilustrasinya, jika masyarakat meminjam Rp 100 ribu, mereka menerima Rp 90 ribu. Selanjutnya, setiap hari mereka harus mencicil Rp 5 ribu sebanyak 24 kali atau totalnya Rp 120 ribu. Artinya, dalam sebulan bunga yang harus dibayarkan mencapai 30%. "Ada juga yang satu bulan bunganya sampai 50%, di Wonorejo, Pasuruan," cerita Mahmud.
Masalahnya, masyarakat sekitar memang tidak ada pilihan selain meminjam ke rentenir. Status mereka yang masuk golongan miskin membuat mereka mustahil mengakses pendanaan dari perbankan. Berangkat dari permasalahan itu, para pengurus koperasi langsung bergerak menyiapkan dana untuk melepaskan jerat para rentenir. Mahmud menjelaskan, saat itu terdapat sekitar 30 orang yang diberi pinjaman antara Rp 50 ribu dan Rp 200 ribu.
Anehnya, sama seperti rentenir, koperasi pun menerapkan bunga 30%. Kok bisa? "Bedanya, kelebihan pembayaran yang 30% itu kami tabung. Nanti saat bulan puasa, seluruh tabungan itu diberikan ke peminjam," kata Mahmud sambil tersenyum. Rupanya, memang harus ada sistem khusus demi "memaksa" kaum papa agar terbiasa menabung.
Selama dua tahun, konsep tersebut bergulir tanpa arah yang jelas. Pada 1997, para pengurus koperasi berkenalan dengan sistem Baitul Maal wa Tamwil. BMT sesungguhnya seperti lembaga perbankan. Bedanya, BMT beroperasi dengan prinsip syariah islam; salah satunya, tidak mengenakan bunga kepada nasabah ataupun peminjamnya. Keuntungan BMT bersumber dari aneka kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Setelah mempelajari dan mengikuti berbagai pelatihan, Juli 1997 lahirlah Koperasi BMT Maslahah Mursala lil Ummah (MMU) yang kelak (2015) berganti nama menjadi Koperasi BMT Maslahah. Keanggotaannya waktu itu hanya di Kabupaten Pasuruan. Permodalannya dihimpun dari para anggotanya. "Terhimpun dari para guru diniyah atau ustadz sebanyak 116 orang, jumlahnya Rp 13,5 juta. Alhamdulillah, bisa berkembang," ujar Mahmud.
Modal bisnis BMT MMU kental dengan misi sosial, yakni mengangkat harkat hidup anggotanya melalui kegiatan yang produktif dan bebas riba. Permodalan yang bersumber dari anggota dan keuntungannya dikembalikan ke anggota itu juga yang membuat bentuk koperasi paling cocok sebagai badan hukumnya.
Momentum besar perkembangan terjadi pada 1997. Saat krisis meletus, orang-orang yang kehilangan kepercayaan pada perbankan mengalihkan simpanannya ke BMT MMU. "Sehingga, kami sempat kebanjiran dana. Perlahan-lahan bisa kami selesaikan dengan baik," ujar Mahmud.
Belakangan, alumni ponpes yang tersebar di seantero Nusantara dan para guru lulusan Ponpes Sidogiri yang tergabung dalam Urusan Guru Tugas Luar Pasuruan meminta agar cakupan operasional BMT MMU diperluas. Akhirnya, pada tahun 2000 berdirilah Koperasi BMT UGT Sidogiri. "Modal anggota yang berhasil kami kumpulkan sebesar Rp 141 juta, dengan wilayah anggota seluruh Indonesia. Sementara MMU simpanan pokoknya Rp 10 ribu, yang UGT sudah Rp 1 juta. Kami olah," Mahmud memaparkan.
Meski demikian, hingga kini Koperasi Pondok Pesantren (Kepontren) Sidogiri, BMT MMU, masih berdiri dan terus berjalan dengan baik. "Kepontren itu badan hukumnya untuk sektor riil, perdagangan. Kalau BMT, simpan-pinjam. Di Kepontren tidak ada divisi simpan-pinjam. Lalu, kami buat BMT MMU tadi, itu satu badan hukum, dan UGT, satu badan hukum lagi," Mahmud menjelaskan.
Sumber: Majalah SWA Edisi 01/2016
Penulis: Eddy Dwinanto Iskandar dan Suhariyanto
Riset: Sarah Ratna Herni
Editor: Mokh. Syaiful Bakhri






